Artikel ini merupakan review singkat mengenai riset perkembangan ekonomi kreatif di Bandung. Sengaja saya langsung upload ke heterologia.multiply.com untuk melibatkan beberapa teman yang tertarik untuk berdiskusi secara interaktif. Bagi yang mau ikut membahas saya persilahkan…

I

Sudah selama beberapa bulan terakhir ini saya banyak mengumpulkan dan membaca artikel tentang perkembangan industri kreatif di kota Bandung. Selain melakukan kegiatan pengarsipan informasi digital di www.bandungcreativecityblog.wordpress.com, saya juga sempat menghadiri beberapa pertemuan yang secara khusus membicarakan masalah ini. Diantaranya mungkin masih ada yang ingat dengan pertemuan Bandung Creative City Forum di Common Room pada tanggal 7 Februari 2008 yang telah lalu. Selain itu ada banyak diskusi, seminar, pertemuan dan rapat-rapat khusus yang membahas peluang pengembangan industri kreatif di kota Bandung. Penyelenggaranya mulai dari komunitas, organisasi, universitas, sampai pada pemerintah pusat dan daerah.

Dalam sebuah pertemuan di Yokohama, Ridwan Kamil (arsitek/ urban planer, URBANE) menyatakan bahwa dengan segala potensi yang dimilikinya, kota Bandung telah mendapatkan penghargaan dan menjadi bagian dari jaringan pengembangan kota kreatif yang menghubungkan beberapa kota semisal Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur, Manila, Hanoi, Hong Kong, Taipei, London, Auckland, Istambul, Bogota dan Glasgow. Sampai tiga tahun ke depan, kota Bandung akan menjadi proyek percontohan pengembangan kota kreatif se-Asia Pasifik.

Hal ini pertama kali diungkap dalam seminar International Education & Employability – Developing the Creative Industries yang diselenggarakan oleh British Council di Bandung pada tanggal 29 s/d 31 Oktober 2007. Dalam pameran Bandung Creative Showcase yang diselenggarakan di Common Room pada waktu yang sama, beberapa delegasi seminar tersebut bahkan menyatakan bahwa mereka harus belajar dari pengalaman kota Bandung yang dapat mengembangkan aktifitas ekonomi kreatif yang berbasis komunitas dan peran usaha kecil dan menengah (UKM). Apa yang terjadi di kota Bandung bisa jadi merupakan kasus unik yang hanya bisa terjadi di negara berkembang. Hal ini tentunya merupakan sebuah contoh bagaimana kreatifitas betul-betul mampu menjadi pemicu gelombang pertumbuhan ekonomi baru di kawasan ini.

II

Banyak diantara teman saya yang bertanya mengenai pengertian dari ekonomi kreatif. Dari berbagai definisi yang saya kumpulkan, saya menyimpulkan kalau aktifitas ekonomi kreatif merupakan serangkaian kegiatan produksi dan distribusi barang maupun jasa yang dikembangkan melalui penguasaan di bidang informasi, pengetahuan dan kreatifitas. Ekonomi kreatif sangat menyandarkan aktifitasnya pada proses penciptaan dan transaksi nilai. Artinya aspek sumberdaya manusia (talent), teknologi, keberagaman budaya, dan pasar yang kritis (critical mass) merupakan sebuah ekosistem yang sangat dibutuhkan, bahkan dicari oleh para pelaku industri kreatif di seluruh dunia. Banyak orang yang berpandangan kalau Bandung sudah memiliki ekosistem yang dimaksud. Mudah-mudahan pandangan ini benar.

Mungkin bisa saja kita bayangkan sendiri. Kondisi lingkungan yang sejuk dan ukuran kota yang tidak begitu besar tampaknya lebih memungkinkan warga kota Bandung untuk dapat bergerak dan berinteraksi dengan lebih leluasa. Selama ini Bandung juga dikenal sebagai sebuah kota yang memiliki sumberdaya manusia yang relatif lebih ideal apabila dibandingkan dengan kota lain. Ada banyak sekolah, mulai dari SD sampai perguruan tinggi yang menjadi pemasok ratusan komunitas kreatif di kota ini. Selain itu, sikap masyarakat kota Bandung yang terbuka dan toleran membuat karakter mereka lebih dinamis dalam mengadaptasi perubahan. Hikmat Budiman (Penulis buku Lubang Hitam Kebudayaan) bahkan menyatakan kalau generasi muda di kota Bandung mampu mengadaptasi trend global dan mendefinisikan perkembangan yang ada sesuai dengan konteks mereka. Dia bahkan menambahkan kalau selama ini telah terbangun pasar yang menyerap berbagai kecenderungan yang ada.

Saya jadi teringat pada acara The Third Asia Europe Art Camp 2005 yang diselenggarakan pada tanggal 4 – 12 Agustus 2005 di kota Bandung. Waktu itu kami mengundang sekitar 20 mahasiswa seni dari negara Asia dan Eropa untuk mengikuti serangkaian diskusi dan workshop di bidang seni, media dan teknologi. Salah satu topik yang dibahas pada saat itu salah satunya adalah wacana mengenai fenomena dan pertumbuhan ekonomi kreatif. Seorang pembicara yang bernama Rob van Kranenburg (Waag Society, NL) waktu itu menyatakan kalau pemerintah Belanda sangat menyadari kalau aplikasi seni, media dan teknologi merupakan sendi penting bagi perkembangan di bidang ekonomi kreatif. Oleh karena itu, di Belanda pemerintahnya banyak berinvestasi dan memberikan dukungan bagi aktifitas yang berhubungan dengan seni dan perkembangan teknologi.

Selanjutnya perbincangan mengenai ekonomi kreatif kembali mengemuka pada sebuah seminar internasional Artepolis 2006: Creative Culture and the Making of Place, yang diselenggarakan oleh Departemen Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Arsitektur – ITB dan Pusat Studi Urban Desain (PSUD-ITB). Saat itu, ada banyak pendapat yang menyatakan pentingnya untuk mengembangkan aktifitas ekonomi kreatif yang mengedepankan peran partisipasi komunitas masyarakat, penentu kebijakan publik dan tata kelola lingkungan hidup yang baik. Hal ini terutama agar berbagai bentuk sumber daya yang ada bisa dimanfaatkan dengan maksimal sehingga dapat menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi maupun kehidupan warga masyarakat secara umum.

III

Melalui berbagai arsip dokumentasi yang saya kumpulkan, ada beberapa temuan yang menggembirakan namun sekaligus menyedihkan terjadi di kota Bandung selama 10 – 15 tahun terakhir. Seiring dengan situasi perubahan dan perkembangan yang pesat di bidang teknologi informasi, telah lahir sebuah generasi baru yang ikut membentuk wajah kota Bandung masa kini. Kebanyakan didominasi oleh para musisi, seniman dan desainer muda di kota Ini. Melalui buah tangan mereka, ada banyak karya cemerlang yang dihasilkan sehingga mereka berhasil membawa kota Bandung masuk ke dalam kancah dunia global.

Yang mengherankan, perkembangan ini sepertinya sama sekali tidak tersentuh oleh berbagai kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah. Bahkan bisa dikatakan pemerintah kita terlambat dalam menyadari potensi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Dengan segala keterbatasan, berbagai komunitas anak mudia di kota Bandung berhasil mengembangkan potensi dan kreatifitas mereka secara mandiri. Dalam sebuah catatan, gelombang ekonomi baru yang digerakan oleh anak muda di kota Bandung berhasil menciptakan sekurang-kurangnya 650.000 lapangan kerja baru. Sebagaian besar diantaranya diisi oleh mereka yang berkarya di bidang musik, fashion, seni, desain, arsitektur sampai dunia IT.

Pada pertemuan di Auditorium Rosada pada tanggal 2 Mei 2008, Pemerintah Kotamadya Bandung akhirnya memperlihatkan dukungan penuh bagi pengembangan sektor ekonomi kreatif melalui rencana pembentukan kebijakan dan pembangunan infrastruktur kota. Hal ini diharapkan dapat menjawab ironi akan berbagai potensi yang dimiliki oleh kota Bandung yang sepertinya masih berserakan dalam kondisi yang memprihatinkan. Banyak pihak yang kemudian sangat berharap kalau dukungan pemerintah bisa mendorong perkembangan ekonomi kreatif ke arah yang lebih baik. Selama ini, berbagai perkembangan di bidang ekonomi kreatif sepertinya memang belum tersentuh oleh kebijakan publik dan prasarana yang memadai sehingga perkembangan yang ada berjalan secara tersendat-sendat.

Kita mungkin masih ingat akan insiden Sabtu Kelabu yang merenggut 11 nyawa anak muda ketika terjadi kericuhan selepas konser kelompok Beside di gedung AACC pada tanggal 9 Februari 2008. Lepas dari faktor kelalaian penyelenggara dalam mengelola konser, insiden ini menunjukan kalau sampai saat ini kota Bandung belum memiliki fasilitas publik yang mampu mengakomodasi aspirasi dan kreatifitas yang dimiliki oleh warganya. Hal ini terasa semakin miris ketika pemerintah memperketat penerbitan izin konser musik sehingga beberapa pekerja di bidang ini harus ikut-ikutan mengencangkan ikat pinggang sebagai buntut dari terjadinya insiden. Selain itu, ruang publik tempat berbagai komunitas berkumpul dan berinteraksi rasanya semakin minim, sehingga ruang untuk membangun jejaring dan berekspresi secara bebas semakin terbatas.

Sementara itu, kita juga sama-sama tahu kalau ada ketimpangan yang terjadi di sektor produksi. Kebijakan yang ada saat ini dianggap lebih mendahulukan kepentingan pengusaha, sehingga kondisi buruh belum tersentuh dan nyaris tidak terperhatikan. Contohnya ada banyak diantara para pekerja sablon, penjahit sampai penjaga gerai-gerai toko terpaksa hidup dengan cara yang tidak layak dengan gaji di bawah standar. Ketimpangan penghasilan yang dihasilkan oleh angin sepoi-sepoi pertumbuhan ekonomi kreatif tampaknya lebih banyak menguntungkan para pemilik modal ketimbang pekerjanya. Tidaklah mengherankan juga kalau ada banyak juga seniman, desainer dan musisi yang harus hidup seadanya karena kondisi ini.

IV

Di bidang pendidikan situasinya tidak kalah menyedihkan. Dunia kreatifitas membutuhkan sumberdaya yang memiliki potensi dan karakter individu yang otentik. Sistem pendidikan formal yang sedianya dikembangkan agar dapat menggali karakter dan potensi individu ikut-ikutan mandul karena standarisasi. Kegiatan pendidikan saat ini banyak yang didominasi oleh sistem dan tata kelola yang kurang ideal, sehingga kebanyakan sumber daya kreatif justru dapat lebih bekembang lewat model pendidikan di luar sekolah yang sangat mengandalkan jaringan pertemanan dan komunitas. Di kalangan anak muda, ada banyak yang merasa bahwa kreatifitas yang mereka miliki justru dipasung ketika mereka berada di lingkungan sekolah formal.

Internet, salah satu sarana untuk mengakses informasi dan pengetahuan bagi masyarakat juga saat ini semakin diawasi. Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah menerbitkan Undang-Undang Informasi dan Elektronika (UU ITE) yang membuka peluang untuk melakukan pembatasan akses dan kriminalisasi bagi pengguna internet. Hampir sebulan setelahnya, pada tanggal 2 April 2008 pemerintah menyebarkan surat pemblokiran situs yang memasang film Fitna yang diproduksi dan disebarkan oleh politisi sayap kanan Belanda yang bernama Geert Wilders. Beberapa situs penyedia jaringan sosial semisal Youtube, Myspace, Multiply, dsb., diblokir selama satu minggu lebih. Hal ini memicu polemik yang mempersoalkan kebebasan untuk mengakses informasi bagi masyarakat umum. Dalam hal ini pembatasan sepihak oleh pemerintah ditakutkan memasung akses atas informasi dan pengetahuan yang menjadi modal dasar bagi pengembangan platform ekonomi kreatif yang berkelanjutan.

Ketidakjelasan hukum semakin memperparah situasi karena ada banyak pekerja kreatif yang harus kehilangan hak mereka karena aktifitas pembajakan dan pemalsuan. Saat ini, ekosistem bisnis kreatif yang ada di kota Bandung bahkan terancam oleh pembajakan yang semakin membabi buta. Sungguh patut untuk disayangkan mengingat ekosistem ini dibangun dengan susah payah dan pengorbanan oleh banyak pihak. Hal ini juga berhimpitan dengan situasi ekonomi yang tak kunjung menentu. Terasa semakin menakutkan ketika membayangkan resesi yang semakin menghantui di tengah melonjaknya harga minyak dan komoditi. Tidaklah mengherankan kalau daya beli masyarakat harus berkompromi dengan situasi. Hari-hari ini ada semakin banyak orang yang lebih untuk rela antri gas dan minyak tanah ketimbang nonton konser atau beli baju baru.

Apabila saya bayangkan lebih jauh, rasanya situasi semakin runyam saja. Namun ada satu hal yang membuat saya tetap optimis. Etos kemandirian yang dimiliki oleh para pekerja kreatif di kota Bandung bisa jadi merupakan jawaban atas gejala krisis ekonomi baru yang semakin menunjukan tanda-tandanya selama beberapa waktu terakhir ini. Saya masih ingat bagaimana generasi muda di kota Bandung justru memulai geliat mereka ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1998. Di tengah situasi ekonomi dan politik yang serba chaos saat itu, komunitas kreatif di kota Bandung justru berhasil bergerak dan menjadi pendobrak. Mudah-mudahan pengalaman yang kita miliki dapat menjadi solusi dan menjaga harapan akan masa depan yang lebih baik. Tabik!

SIAPA sangka, Kota Bandung akan menjadi titik sentral pada perkembangan ekonomi masa depan yang berbasis industri kreatif. Setidaknya, tak hanya menjadi barometer bagi kawasan Indonesia, tetapi juga kawasan Asia Timur.

Hal tersebut berawal dari pertemuan internasional kota berbasis ekonomi kreatif, yang dilaksanakan di Yokohama Jepang pada akhir Juli 2007. Pada pertemuan itu, Bandung memperoleh penghargaan sekaligus tantangan, dengan terpilih sebagai projek rintisan (pilot project) kota kreatif se-Asia Timur.

Pemilihan Bandung sebagai kota percontohan bukanlah tanpa alasan, mengingat dalam 10 tahun terakhir, industri kreatif di Bandung menunjukkan perkembangan signifikan dan memengaruhi tren anak muda di berbagai kota.

Perkembangan tersebut menjadi daya tarik bagi para pelaku ekonomi kreatif di dunia, sehingga melalui projek percontohan ini, Bandung diharapkan mampu memopulerkan semangat kota kreatif di dunia global.

Projek yang bernama “Bandung Creative City” (BCC) itu direncanakan berjalan selama tiga tahun mulai Agustus 2008. “Rencananya, pada bulan Agustus nanti kota ini akan dikunjungi 140 pelaku ekonomi kreatif dari berbagai negara,” ujar Ridwan Kamil, salah seorang perancang BCC pada Bandung Creative City Workshop di Auditorium Rosada Balai Kota Bandung, Jumat (2/5).

Ia menjelaskan, untuk mempersiapkan BCC sekaligus kedatangan para pelaku ekonomi kreatif tersebut, Kota Bandung perlu berbenah diri dan menggali seluruh potensi yang dimiliki.

“Pada dasarnya, Bandung bisa diklaim sebagai kota yang sudah memiliki banyak potensi dan paling siap dalam merespons gelombang ekonomi,” ujarnya.

Hal ini karena potensi yang dimiliki Bandung belum tergali secara maksimal. “Talenta muda yang berlimpah, jumlah perguruan tinggi yang mencapai 5o, kemudahan mengakses teknologi, dan karakteristik masyarakat yang terbuka akan perbedaan dan perubahan, mampu memacu dan mendukung generasi mudanya untuk lebih berkreasi dan terjun ke dunia usaha,” tutur Ridwan.

Hanya, menurut dia, saat ini belum ada langkah strategis dan politis dari pemerintah kota untuk menjadikan Bandung sebagai pemain utama dalam persaingan global di sektor ekonomi kreatif. “Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan penuh dari pemkot, seperti pemberian izin menyelenggarakan acara dan penyediaan creative center yang bisa difungsikan untuk mendukung kreativitas kota ini,” katanya.

Selain itu, Ridwan juga mengatakan, diperlukan ruang publik dan infrastruktur fisik kota yang berkualitas. “Perencanaan dan perancangan kota yang inovatif dan responsif akan menjadi peluang pembangunan ekonomi,” ucapnya.

Hal ini direspons positif Wali Kota Bandung Dada Rosada yang mengatakan, untuk saat ini yang diperlukan adalah implementasi dan tindakan nyata. Bukan sekadar usulan atau berhenti pada tataran konsep. Oleh karena itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung akan mengeluarkan Surat Keputusan Wali Kota mengenai pembentukan tim yang menangani projek BCC.

Dada mengatakan, banyak hal yang harus ditata jika ingin Bandung benar-benar menjadi kota jasa yang kreatif. Tidak hanya mempermudah pemberian izin, dia pun akan membenahi infrastruktur yang ada sehingga memadai. Salah satunya, dengan pembangunan dan perbaikan jalan. “Bagaimana bisa menjadi kota jasa jika masih banyak ruas jalan yang rusak dan kemacetan terjadi di mana-mana,” ujarnya.

Namun, dia mengatakan, hal tersebut akan dilakukan secara bertahap. Hal terdekat yang akan dilakukan adalah penataan taman kota yang selain indah dilihat juga aktif digunakan oleh masyarakat. “Caranya, dengan membuat kursi yang memiliki dua fungsi, yaitu sebagai tempat duduk dan saat tidak digunakan menjadi benda seni yang indah dipandang,” ujarnya.

Selain itu, penataan halte juga menjadi sasaran untuk mendukung projek BCC. Dada mengharapkan agar halte-halte yang ada dilengkapi dengan informasi jalan dan rute kendaraan umum.

Penulis: Mega Julianti/Yulistyn
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Pada hari Jumat, tanggal 2 Mei 2008 yang telah lalu, Sekertariat Daerah (Sekda) Pemerintah Kota Bandung menyelenggarakan pertemuan yang membahas ekspose desain kota kreatif dan pembahasan pembentukan Forum Pemasaran Kota Bandung. Bertempat di Auditorium Rosada, pertemuan ini menghadirkan pembicara Ir. H. Ridwan Kamil, M. Ur. D. dan Popy Rufaidah, SE. MBA. Ph.D. Masing-masing mempresentasikan beberapa pemaparan mengenai rencana pengembangan kegiatan Bandung Creative City Project dan rencana pembentukan Forum Pemasaran Kota Bandung.

Selain dihadiri oleh H. Dada Rosada, S.H., M.Si (Walikota Bandung), acara ini juga dihadiri oleh beragam peserta yang berasal dari berbagai pegawai pemerintahan, beberapa perwakilan dari institusi non pemerintah dan dunia usaha di kota Bandung. Diantara peserta pertemuan yang hadir adalah Dr. H. Edi Siswadi, Msi (Sekda Pemerintah Kota Bandung), H. Syafik Umar (Direktur Utama Pikiran Rakyat), Hendy Hertiasa (Desainer/ anggota Bandung Creative City Forum), dsb.

Dalam acara ini, Ir. H. Ridwan Kamil, M. Ur. D. yang biasa dipanggil Emil mendapatkan kesempatan pertama dengan memberikan pemaparan mengenai visi untuk menjadikan kota Bandung sebagai kota kreatif. Secara gamblang, Emil kemudian memberikan berbagai pemaparan mengenai perkembangan ekonomi kreatif serta kaitannya dengan pengembangan kebijakan dan pembangunan infrastruktur kota. Tiga hal yang ditekankan dalam presentasinya antara lain adalah beberapa upaya untuk mendukung perkembangan budaya kreatif di kota Bandung, selain upaya pengembangan infrastruktur ekonomi kreatif dan pengembangan kebijakan pembangunan kota Bandung yang mengedepankan aspek kreatifitas dan keterlibatan warga kota.

Dalam presentasinya, diuraikan bagaimana selama ini kota Bandung merupakan salah satu kota kosmopolit yang memiliki beberapa modal dasar yang menjadi potensi bagi pengembangan kota kreatif bertaraf internasional. Selain keberadaan sejumlah perguruan tinggi, karakter masyarakat kota Bandung yang terbuka dan toleran setidaknya memungkinkan kota ini untuk terus mengadaptasi perubahan dan melakukan inovasi. Hal ini tentu saja dapat lebih berkembang apabila aktifitas warga kota dapat didukung melalui pengembangan kebijakan dan penciptaan lingkungan kota yang dapat menjawab kebutuhan warganya.

Sebagai salah satu upaya untuk mendorong perkembangan kota kreatif, Emil kemudian mengajak pemerintah kota untuk mendukung berbagai kegiatan warga kota yang tengah berupaya untuk mendukung perkembangan dunia kreatif di kota ini. Selain potensi dasar yang telah dimiliki oleh warga kota Bandung, saat ini kegiatan pengembangan kota kreatif juga telah mendapatkan dukungan dari beberapa komunitas dan organisasi yang tergabung dalam jaringan kota kreatif yang menghubungkan beberapa kota semisal Bangkok, Singapura, Kuala Lumpur,Manila, Hanoi, Hong Kong, Taipei, London, Auckland, Istambul, Bogota dan Glasgow. Rencananya momentum pengembangan kota kreatif akan mulai deselenggarakan pada sepanjang tahun 2008 yang akan dirangkum dalam kegiatan Helar Festival 2008.

Setelah pemaparan Emil, acara dilanjutkan dengan presentasi yang disampaikan oleh Popy Rufaidah, SE. MBA. Ph.D. mengenai rencana pembentukan Forum Pemasaran Kota Bandung. Dalam paparannya, dijelaskan bagaimana rencana pembentukan forum ini sebetulnya telah dirintis selama beberapa waktu terakhir. Pembentukan forum ini terutama ditujukan untuk mendorong terciptanya iklim usaha dan pembangunan ekonomi yang sehat di kota Bandung. Melalui forum ini, diharapkan berbagai potensi ekonomi yang dimiliki oleh kota Bandung dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Dalam pelaksanaannya, kegiatan Forum Pemasaran Kota Bandung akan memfokuskan kegiatannya dalam mengembangan jaringan yang dapat membangun iklim usaha dan investasi di bidang ekonomi. Selain itu, forum ini juga akan senantiasa mengembangkan aktifitas riset yang diupayakan untuk mengembangkan potensi ekonomi dan sumber daya yang dimiliki oleh kota Bandung. Dalam kesempatan ini juga dibahas berbagai aspek yang terkait dengan upaya pembentukan forum dan keterkaitannya dengan berbagai kebijakan yang telah dikembangkan oleh pemerintah kota Bandung selama ini.

Setelah sesi presentasi H. Dada Rosada, S.H., M.Si selaku walikota Bandung memberikan sambutan singkat yang pada intinya memberikan dukungan atas gagasan untuk menjadikan Bandung sebagai kota kreatif dan upaya untuk membentuk Forum Pemasaran Kota Bandung. Beliau berharap berbagai rencana yang telah dikembangkan bisa secepatnya direalisasikan dengan pendekatan yang tepat. Hal ini kemudian direspon secara langsung oleh Dr. H. Edi Siswadi, Msi selaku sekertaris daerah Pemerintah Kota Bandung yang akan menindaklanjuti berbagai pembicaraan yang berkembang di dalam diskusi menjadi perangkat kebijakan yang mencerminkan dukungan pemerintah kota secara langsung.

Penulis: Gustaff H. Iskandar

Kamis, 20 Juli 2006

KOMUNITAS-komunitas kreatif yang berkembang dalam sepuluh terakhir ini, memberi warna baru dalam perkembangan Bandung sebagai satu kota. Bandung yang selama ini dikenal sebagai kota yang kreatif dalam melahirkan tren baru dalam gaya hidup, seperti tak pernah kehabisan ide dan gagasan kreatif.

Munculnya ruang-ruang pertemuan dan kegiatan yang mengakomodasi berbagai macam pemikiran dan gagasan-gagasan kreatif, selama ini lebih banyak digagas secara mandiri oleh inisiatif individu atau kelompok.

Bersamaan dengan institusi-institusi formal lain yang bergerak di lingkup seni budaya, kerberadaan ruang-ruang inisiatif dan komunitas-komunitas yang ada, memiliki kontribusi yang penting dalam perkembangan budaya kota. Namun fakta bahwa komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif, yang mampu bertahan sangat sedikit, menunjukkan bahwa dan keberlanjutan keberadaan ruang-ruang tersebut menjadi isu yang serius untuk ditanggapi.

Berkaitan dengan hal ini, beberapa waktu lalu, Pusat Studi Urban Desain, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Departemen Arsitektur ITB dan Common Room Networks Foundation, mencoba mengidentifikasikan, persoalan-persoalan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas kreatif dan ruang-ruang inisiatif itu melalui kegiatan gathering komunitas kreatif dan online conference dengan para pelaku komunitas di Bandung. Gathering dan online conference ini merupakan bagian dari kegiatan Artepolis yang bertujuan untuk menyoroti persoalan budaya kreatif dan pemaknaan ruang di Bandung.

Berbagai komunitas yang bergerak di bidang fashion, musik, perbukuan, media, dan pengelola ruang yang selama ini aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan di Bandung, berbagi pengalaman dan persoalan-persoalan yang dihadapi mereka selama ini.

Tingginya Nilai Lahan
IF Venue, salah satu ruang inisiatif yang memulai aktivitasnya pada bulan Agustus 2004, terpaksa menutup ruangnya karena idealisme pengelolanya, harus berhadapan dengan harga sewa ruang yang setiap tahun bertambah mahal. “Kita tutup karena nggak mampu bayar kontrak. Harga sewa rumah yang asalnya Rp. 20 juta per tahun, naik jadi Rp. 27 juta pertahun“, Jelas Muhamad Akbar, salah satu pengelola IF Venue. “Kita sempat bikin pertunjukan untuk cari dana, tapi karena persiapannya mepet dan sumber dayanya terbatas, kegiatan yang harusnya menghasilkan uang untuk sewa tempat malah nombok.

Pada awalnya, IF venue, didirikan untuk menjadi ruang pengembangan kreativitas anak muda di Bandung. Saat itu, para pendirinya mendapatkan sejumlah dana dari sebuah organisasi sosial yang mendukung realisasi berdirinya ruang inisiatif tersebut. Bantuan tersebut mereka anggap sebagai modal awal untuk aktivitas mereka.

Sebelum ditutup, IF venue yang terletak di jalan Moch. Toha, dikenal oleh sebagian anak muda Bandung, sebagai ruang yang rutin menyelenggarkan kegiatan-kegiatan pameran, pertunjukan musik underground, diskusi dan pemutaran film. Untuk membiayai kegiatan mereka, salah satu ruangan, dijadikan studio musik untuk disewakan, juga ada toko baju dan coffe shop kecil, namun pemasukannya tidak dapat menutupi kebutuhan operasional mereka.

Kebutuhan ruang-ruang di lokasi strategis untuk beraktifitas dan keterbatasan lahan yang tersedia, semakin membuat harga sewa ruang dan lahan menjadi semakin mahal. Tidak adanya pengaturan, tata guna lahan yang jelas oleh pengelola kota, harga sewa ditetapkan secara sepihak oleh para pemilik ruang.

Jalan Trunojoyo, dulu sewanya cukup murah kalau mau buka usaha di situ, sekarang setiap tahun naik hampir Rp. 15 juta. “Sekarang sewanya bisa sampai seratus juta rupiah per tahun. Dan itu bikin biaya operasional tambah mahal, pengaruhnya ke harga jual produk juga“, kata Dendy pemilik 347 dan pengelola ruang Room No.1.

Infrastruktur dan Birokrasi
Di Bandung cuma sedikit tempat yang bisa dipakai untuk pertunjukan dan itu pun harga sewanya mahal, lagi pula sulit mencari tempat yang sesuai dengan jenis pertunjukannya“, keluhan serupa diungkapkan Wale, salah satu penggiat Komunitas Berandalan Bandung, yang pada bulan Juni lalu sempat menggelar konser, grup punk legendaris dari USA, The Exploited, di stadion Persib, Bandung.

Bandung butuh gedung yang bisa menampung audience sampai 10.000 orang, sementara tempat-tempat pertunjukan yang ada paling banyak hanya 2.000 sampai 5.000 orang. Sering kejadian penontonnya banyak dan gedungnya nggak muat“, lanjut Wale.

Maka itu jangan heran, jika ruang-ruang seperti AACC, Auditorium CCF, bisa dipakai untuk segala pertunjukan musik. Di pertengahan 90 sampai akhir 90-an, Gelora Saparua, identik dengan pertunjukan musik punk, hard core. Namun saat ini, karena kondisi gedung yang sudah tidak layak, membuat komunitas punk, hardcore, kesulitan mencari ruang pertunjukan musik mereka. Sementara gedung pertunjukan seperti Sabuga, tak terjangkau bagi komunitas. Mengingat, seringkali penyelenggaraan kegiatan dilakukan dengan dana swadaya komunitas dan sponsor yang terbatas. Modal terbesar yang mereka miliki adalah semangat dan keinginan yang kuat untuk mengekspresikan aspirasi estetiknya.

Belum lagi persoalan perizinan dan birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan. Helvi, pendiri Fast Foward Record yang beberapa waktu lalu sempat mengundang King of Convenience, grup musik asal Norwegia, berharap pemerintah kota dapat memberikan keringanan pajak dan visa kerja terhadap band-band yang akan tampil di Bandung. “Kayak 100 Rock Festival di Bangkok, Dinas Pariwisatanya yang dukung, lalu kerja sama dengan swasta, jadi banyak biaya yang bisa di tekan.

Disadari atau tidak oleh pengelola kota, kegiatan konser bertaraf internasional seperti ini, dapat mendukung kegiatan pariwisata Kota Bandung.

Sementara, tidak semua orang memiliki akses terhadap ruang-ruang milik pemerintah kota dan menggunakannya sebagai community center. Jika dapat menggunakan fasilitas yang tersedia, seringkali tak sesuai dengan kebutuhan yang menunjang kegiatan.

Tubagus Adhi, dari Forum Apresiasi Budaya atau lebih dikenal dengan nama LINKART, selama ini menjalankan aktivitasnya dengan memanfaatkan ruang yang ada di Kompleks Taman Budaya. “Kebetulan saat itu posisinya sebagai konsultan Taman Budaya. Cuma ga ada uangnya. Bagi saya nggak papa, dan saat itu saya menemukan ruang audio visual dan perpustakaan yang berantakan sekali. Akhirnya ya kita memanfaatkan itu.

Aktivitas dilakukan oleh LINKART, di antaranya pendokumentasian seni budaya dan program tur keliling kota, yang tujuannya untuk memperkenalkan sejarah Bandung pada kalangan muda. Namun, seperti halnya komunitas lain, untuk membiayai aktivitasnya, LINKART masih mengandalkan dana swadaya dari para pengurusnya.

Persoalan Bersama
Achmad D. Tardiyana, selaku fasilitator dan penanggung jawab kegiatan gathering, memandang persoalan ini lebih optimis. Menurutnya, salah satu kunci kegiatan kreatif itu adalah survival. Kendala-kendala itu justru mendorong mereka untuk bisa menemukan cara dalam mengatasi persoalannya. Kreativitas justru seringkali muncul dari keterbatasan-keterbatasan yang ada.

Meski demikian, tetap saja peranan pengelola kota sangat diperlukan. Penataan ruang kota Bandung yang bisa mengakomodasi potensi kreatif warganya, sudah semestinya diakomodasi dan difasilitasi. Jika pengelola Kota melihat komunitas kreatif sebagai potensi kota yang membentuk identitas Bandung sebagai kota kreatif, sudah saatnya, apa yang menjadi persoalan komunitas ini, juga menjadi persoalan yang perlu dipikirkan dan diselesaikan bersama-sama.

Penulis: Tarlen Handayani
Sumber: Harian Pikiran Rakyat

Bandung—Sejumlah musisi Bandung yang bergerak melalui jalur distribusi independen atau yang lebih dikenal dengan nama indie, berharap musik mereka tidak menjadi sekadar tren bagi kalangan anak muda.

Vokalis band indie legendaris Bandung Pure Saturday, Satria, saat ditemui di sela-sela LA Lights Indie Fest Bandung, minggu lalu, mengatakan geliat musik indie yang sedang naik saat ini tidak dijadikan sebagai peluang komersial, melainkan dijadikan momen untuk membesarkan band-band indie itu sendiri.

Festival musik independen seperti Indie Fest kali ini sangat bagus untuk membangkitkan semangat independen bagi para musisi indie. ”Hanya saja jangan dijadikan tren oleh pihak-pihak yang sekadar mencari keuntungan”, katanya.

Hal senada disampaikan gitaris band Ballads of the Cliche, Erick. Festival-festival indie yang kini kerap diselenggarakan oleh berbagai pihak sebenarnya menjadi kesempatan besar bagi musisi indie baru yang ingin ”unjuk gigi”.

Namun, hal tersebut juga jangan sampai dijadikan semacam tren dan tidak merepresentasikan esensi dari musik indie itu sendiri, katanya. Karena sebenarnya, yang membedakan musik independen dengan musik yang bergerak di jalur ”major label” adalah semangat musisinya dalam memainkan musik mereka yang berbeda dengan musik lain yang cenderung lebih komersial.

Musisi indie akan selalu bermain musik sesuai dengan hati mereka, bukan hanya sekadar untuk terlihat keren”, kata Satria. Ia juga mengatakan, musisi indie sejati tidak akan memainkan musik mereka menuruti keinginan pasar, tetapi karena musik yang mereka jalani telah menjadi gaya hidup mereka.

Kibordis Jelly Belly, Ngging, juga menyayangkan adanya kecenderungan bagi musisi indie yang sudah tidak lagi memiliki semangat indie. Salah satu band yang juga menjadi salah satu bintang tamu di Indie Fest, katanya, rela mengganti nama band mereka ketika mereka menandatangani kontrak dengan salah satu label besar Indonesia. Padahal, seharusnya musisi indie harus bisa mempertahankan gaya bermusik maupun pendapat mereka. ”Mereka harus memiliki style mereka sendiri, dan jangan sampai berubah hanya karena ingin terkenal”, katanya.

Sumber: Harian Umum Sore, Sinar Harapan